—
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu adalah berasal dari Allah.” (An-Nahl : 53)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian berusaha untuk menghitung-hitung nikmat Allah pasti kalian tidak akan bisa menghingganya.” (An-Nahl : 18)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, kalian adalah fakir/butuh kepada Allah, sedangkan Allah Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Fathir : 15)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah lah yang mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan kalian tidak mengetahui apa-apa, dan Dia (Allah) jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, mudah-mudahan kalian bersyukur.” (An-Nahl : 78)
Mengingat dari mana datangnya nikmat penting bagi kita. Karena banyak orang lupa dari mana sesungguhnya nikmat itu datang. Mereka menyandarkan nikmat kepada yang tidak berhak menyandangnya. Mereka mengaku bahwa nikmat itu muncul dari kerja keras, upaya, dan keringat yang mereka cucurkan siang dan malam. Padahal, sejatinya nikmat itu datang dari Allah. Dia lah yang mencurahkan nikmat itu kepada jin dan manusia.
Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat, kita selalu membaca ayat yang bunyinya ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ artinya, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” Ayat ini menunjukkan bahwa Allah berhak mendapatkan pujian. Pujian yang dibarengi dengan kecintaan dan pegagungan. Bagaimana tidak? Sedangkan Allah adalah satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta ini. Dia lah Rabbul ‘alamin.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, terlalu banyak nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Diantaranya yang paling utama tentu saja adalah nikmat hidayah. Hidayah kepada Islam, hidayah kepada iman, dan hidayah kepada ketaatan. Sungguh, karunia dan kenikmatan yang sangat besar dan tidak ternilai harganya. Apabila kita mengingat nikmat-nikmat itu kita akan merasa sangat berhutang budi -bahkan fakir sefakir-fakirnya- di hadapan Allah. Semua yang kita peroleh dari pemberian-Nya. Tidak terkecuali nyawa dan ruh yang ada di dalam tubuh kita sekarang ini.
Karena itulah, disebutkan dalam penggalan doa sayyidul istighfar yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat ungkapan yang bunyinya ‘abuu’u laka bi ni’matika ‘alaiyya…’ artinya, “Aku mengakui kepada-Mu dengan segala nikmat yang telah Kau berikan kepada diriku…” Ini adalah sebuah pengakuan yang tulus dan jujur dari dalam lubuk hati seorang hamba. Hamba yang menyadari akan kebesaran Rabbnya, hamba yang menyadari akan besarnya karunia Allah atas dirinya. Ingatlah hal itu, sehingga kita akan selalu merasa butuh dan rendah di hadapan Allah.
Karena sesungguhnya hakikat penghambaan kepada Allah adalah ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya. Perendahan diri yang dilandasi kecintaan tertinggi kepada Allah, Dzat yang telah melimpahkan segala macam nikmat kepada kita. Disebutkan dalam sebagian riwayat, “Hati-hati manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa yang telah berbuat kebaikan kepadanya.” Sementara Allah Dia lah yang menjadi sumber segala kebaikan yang ada pada diri seorang hamba, bahkan segala kebaikan di alam semesta adalah karunia dan anugerah dari-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa memiliki ketiga hal itu maka dia akan merasakan manisnya keimanan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. Dan tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah semata. Dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya dari hal itu sebagaimana dia tidak suka apabila dilemparkan ke dalam api/neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah kepada Allah ditegakkan di atas kecintaan dan pengagungan. Dengan kedua hal inilah seorang hamba akan meraih kelezatan iman. Kecintaan yang tulus dan murni dari dalam hati kepada Dzat yang telah mencurahkan segala kenikmatan bagi alam semesta ini. Pengagungan yang lahir dari sikap perendahan diri dan perasaan butuh kepada Allah dan berpaling dari segala sesembahan selain-Nya.
Selain itu, seorang hamba yang merasa akan banyaknya dosa yang telah dilakukannya. Tentu dia akan merendah dan mengiba kepada Rabbnya. Karena dia telah melanggar larangan atau meninggalkan kewajiban yang diberikan oleh-Nya. Dia merasa bersalah. Dia merasa berdosa dan haus akan rahmat dan ampunan Rabbnya. Oleh sebab itu di dalam sayyidul istighfar pula disebutkan ungkapan ‘wa abuu’u bidzanbii’ artinya, “Dan aku pun mengakui atas segala dosaku.”
Dari sinilah tumbuh ubudiyah dan ketaatan kepada Allah yang sejati. Penghambaan yang memadukan antara kesadaran akan curahan nikmat dari Allah dengan kesadaran akan tumpukan dosa yang membinasakan. Di sinilah kita dituntun untuk menggabungkan dua pilar penghambaan ini; musyaahadatul minnah -yaitu menyaksikan dan mengingat terus akan nikmat yang terlimpah- dengan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal -yaitu selalu mencermati kekurangan dan cacat pada diri dan amal-amal kita-. Inilah yang akan melahirkan kebaikan demi kebaikan dalam hidup seorang hamba. Antara syukur kepada Allah dan taubat kepada-Nya.
Dia tidak memandang dirinya kecuali orang yang bangkrut. Bagaimana tidak? Sementara setiap saat dia butuh kepada Allah dan Allah Maha Kaya -Allah pun tidak butuh kepadanya-, nikmat Allah terus tercurah sedangkan dirinya kerapkali terjungkal dalam maksiat dan dosa di hadapan-Nya, dimana tiada satu pun perkara yang tersembunyi dari-Nya. Inilah pintu terdekat untuk kembali ke jalan Allah; yaitu dengan menanamkan perasaan bangkrut di dalam hatinya.